Selasa, 15 Oktober 2013

Tulisan Bahasa Indonesia 2

RESENSI
=> Pengertian
Resensi adalah suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya, baik itu buku, novel, majalah, komik, film, kaset, CD, VCD, maupun DVD. Tujuan resensi adalah menyampaikan kepada para pembaca apakah sebuah buku atau hasil karya itu patut mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak. Yang akan kita bahas pada buku ini adalah resensi buku. Resensi buku adalah ulasan sebuah buku yang di dalamnya terdapat data-data buku, sinopsis buku, bahasan buku, atau kritikan terhadap buku.

Resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere. Artinya melihat kembali, menimbang, atau menilai. Arti yang sama untuk istilah itu dalam bahasa Belanda dikenal dengan recensie, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review. Tiga istilah itu mengacu pada hal yang sama, yakni mengulas buku. Tindakan meresensi dapat berarti memberikan penilaian, mengungkap kembali isi buku, membahas, atau mengkritik buku. Dengan pengertian yang cukup luas itu, maksud ditulisnya resensi buku tentu menginformasikan isi buku kepada masyarakat luas.


CONTOH RESENSI
Judul Buku                : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah 
Penerbit                      : PT. Gramedia Pustaka Utama
Penulis                        : Tere Liye (Darwis tere liye)
Jumlah halaman       : 512 halaman
Tahun terbit               : Januari 2012 
Cetakan kedua          : Februari 2012
Cetakan ketiga          : April 2012

Merangkaikan makna cinta dalam pesan-pesan kesederhanaan
Menuliskan resensi sederhana dari novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merahkarya Darwis Tere Liye yang lebih beken dengan nama pena Tere Liye ini, tak sesederhana menuliskan resensi kisah-kisah cinta yang  banyak ditulis jutaan novelis di Indonesia.

Novelis yang satu ini mungkin salah satu penulis yang agak nyeleneh memaparkan kisah yang tak biasa ditulis dan jarang jadi perhatian para penulis spesialis kisah cinta walaupun cerita yang dibuatnya ini sebenarnya sederhana dan sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Hanya saja mungkin karena saking terlalu biasanya ini, malah jarang pula penulis-penulis yang menaruh minat menjadikan si biasa-biasa ini menjadi tema sebuah novel yang menarik. Hebatnya, sang penulis yang satu ini justru mampu bahkan berhasil membuktikan bahwa menulis hal-hal yang biasa-biasa ini bisa menjadi hal yang luar biasa!

Kisah sederhana ini  mengisahkan perjalanan kehidupan seorang lelaki yang bernama Borno. Mulai dari kisah awal menjadi seorang pekerja, perjalanan cinta yang dilengkapi bumbu-bumbunya dituturkan dengan gaya dialog yang sangat akrab  tidak kaku, dengan alur cerita yang kadang berlompatan ke masa sebelumnya, kadang berlanjut seakan sang penulis tidak pernah kehabisan ide untuk mempermainkan emosi para pembacanya yang sangat penasaran dengan akhir cerita, apakah akanhappy ending ataukah tidak, sehingga tak akan mungkin dilewatkan setiap lembar halamannya.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, walau kisah Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah ini, bukan hanya bercerita tentang kisah cinta si Borno dan Mei yang menarik untuk disimak, melainkan juga kisah–kisah para tokoh yang  menjadi penunjang cerita, bila dikisahkan secara terpisah atau ada kelanjutannya (?) bukan tak mungkin dapat menjadi suatu kisah tersendiri dalam sebuah buku yang lain.

Karakteristik para tokoh penunjang ini pun kisah-kisahnya tak kalah menarik, semisal tokoh Jauhari yang sedang mengantre perahu kayu yang disebutnya sebagai sepit, digambarkan dengan kegalauannya menghadapi masalah di rumah saat anaknya terserang demam berdarah, malahan melampiaskannya kepada si tokoh utama Borno, yang  dihadapi dengan segenap kepolosannya, atau tokoh bang Togar dengan karakter yang di awal-awal cerita begitu amat menyebalkan dibanding Cik Tulani, pemilik warung makan dari tanah melayu yang bermulut nyinyir tetapi baik hati itu, tetapi bisa sangat tiba-tiba berubah menjadi mahluk yang sama sekali di luar dugaan para pembaca. Karakter Koh Acong yang pandai mencongak tanpa salah, keturunan Tionghoa lengkap dengan gaya khasnya sebagai seorang pedagang besar, begitu jenaka.

Mungkin satu tokoh saja yang diberikan porsi agak lebih, semisal pak Tua yang arif bijak dengan kata-katanya yang bak filosof itu, walaupun pernah bersikap sotoy (sok tahu) tentang kota Surabaya (hal 192), tokoh satu ini bisa dibilang mendominasi isi cerita dibandingkan dengan gadis berpayung dengan wajah oriental yang tergambar di sampul novel. Sedangkan tokoh-tokoh kecil lainnya seperti Jupri, Andi, atau Ujang yang tukang ojeg, andai dalam sebuah film mungkin tak lebih berperan sebagai cameo belaka. Walau begitu tokoh masing-masing mendapat porsinya sesuai dengan keperluan cerita, pendek kata semua karakteristik para tokoh penunjang, Tere Liye menggambarkannya dengan cara yang cerdas dan kadang begitu jenaka.

Babak-babak selanjutnya, walau banyak hal dapat diduga,selalu saja ada kejutan di tiap lembarnya, sehingga merupakan satu kesatuan yang alangkah sayangnya jika terlewatkan begitu saja meski hanya selembar, semisal dalam acara sesi terapi di Surabaya itu, betapa kebetulannya Borno itu bisa bertemu dengan Mei yang tiba-tiba saja muncul dengan sang nenek yang juga sedang menjalani terapi di klinik alternatif itu. Atau betapa beruntung dan mudahnya si Borno ini sengaja dipertemukan dengan dokter gigi cantik (hal 308) yang ternyata pernah bertemu di lorong rumah sakit tanpa salah mengenali muka dan si pemilik nama sedikit pun, padahal wajah dan suara bagi orang-orang tertentu yang hanya bertemu sekali apalagi diceritakan bahwa saat pertemuan yang hanya sekali itu, sang dokter saat itu baru berusia 10 tahun, kecil kemungkinannya dapat mengingat rupa lebih dari seorang di luar keluarganya secara total apalagi sesudah Borno bertambah usianya.

Yah, namanya juga novel fiksi, tak ada yang tidak mungkin terjadi dalam sebuah novel, mau diapakan tokoh-tokoh dan sejanggal apapun kondisi dan kejadiannya terserahlah sang empunya cerita, jadi tak usahlah protes dengan hal tersebut.

Walau demikian kita cukuplah bisa menghela nafas panjang setelah diaduk-aduk tanda tanya tentang semua hal tanpa perlu mengerutkan kening kebingungan berlama-lama setelah tiba di halaman akhir. Begitu singkat, terlalu singkat malah sehingga terkesan dipaksakan cepat selesai padahal adegan pertemuan dengan Mei (hal 506-507) masih lebih menarik untuk dibaca tetapi mungkin dengan ending model demikianlah yang penulis lakukan, yang  jelas kisah penutup itulah yang menjawab segala pertanyaan pembaca  yang dari sejak awal-awal bab mendominasi pikiran pembaca.

Akan tetapi lepas dari kelemahan logika yang saya sebutkan di atas, novel ini menawarkan sesuatu yang patut dihargai yakni,bagaimana cara pengarang menemukan teknik untuk memberi sugesti kepada para pembacanya.

Ada hal penting yang tampaknya begitu ingin diungkap sang novelis dalam karyanya ini, yang bukan hanya kisah cinta sederhana sepasang manusia berbeda budaya, melainkan tata nilai demokrasi betapa indah dan penuh cintanya toleransi yang terjalin dalam cerita ini.

Berbagai macam ras terwakili oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Bukan hanya Mei yang keturunan Chinese dan Borno yang asli Pontianak, tetapi nilai-nilai kekerabatannya seolah sengaja dijalin dengan rapi sehingga tak ada istilah tetangga atau saudara jauh semuanya adalah satu rumpun. Satu keluarga. Masing-masing tak merasa sebagai salah satu keturunan tertentu semisal tokoh pak Tua yang menceritakan “siapa di sini yang berani bilang Koh Acong bukan penduduk asli pontianak?” (hal 195 alinea 3).

Lokasi yang berada di ibukota Kalimantan Barat ini membuat pembacanya seolah bisa mengenali medan yang ada di sana. Letak sungai Kapuasnya, tempat dermaga kayu, pelabuhan feri bahkan bentuk bangunan penduduk pada umumnya yang terbuat dari kayu, rumah-rumah para tokoh penunjang, bahkan kolong rumah panggung, dan gang sempit tempat si Borno bermukim sangat terasa seolah-olah para pembaca berada di sana dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa di Pontianak ada gang sempit di tepian sungai Kapuas tempat cerita tentang si Borno berasal.

Dengan teknik seperti ini, Tere Liye membuat novel ini terasa teramat dekat. Kita seperti melihat bagaimana tokoh-tokoh itu seperti menjadi “bagian dari diri kita” di mana bisa melihat gambar tokoh yang ia lakonkan berkelebat dalam mata kita, tergambar jelas dalam imajinasi kita dan mencoba mereka-reka seperti apa wajahnya? Bagaimana posturnya? Keberhasilan Tere Liye dalam “menggambarkan” kota Pontianak dan tokoh-tokohnya didukung oleh gayanya yang cerdas. Apalagi setelah banyak muatan hikmah yang di sampaikan melalui peran pak Tua, mengingat usia penulis jauh berbeda dengan tokoh pak Tua, dua jempol pantas saya acungkan. salut!

Di sini pula sang novelis menceritakan sedikit cuplikan sejarah tentang mengapa pulau Kalimantan mayoritas penduduknya terdiri atas Melayu, Dayak, dan Cina. Disebutkannya bahwa ketika pendiri kota Pontianak, Sultan Abdurrahman Alqadrie mendirikan istana Kadariah, orang Melayu datang berbondong-bondong ke sana, begitu pula dengan orang Dayak yang datang dari pedalaman hulu Kapuas.

Sedangkan tentang ras Cina, disebutkan bahwa pada akhir abad ke-19, daratan Cina dilanda perang sipil yang membuat ribuan penduduk Cina mengungsi keluar dari negerinya, salah satu tujuan mereka adalah Pontianak. Alasannya selain dekat dengan Laut Cina Selatan, penduduk kota Pontianak itu juga ramah terhadap para pendatang (hal 195 alinea 1).

Sedikit cuplikan sejarah ada juga dalam kisah cinta nan romantis pasangan buta si Fulan dan Fulani dari mulai umur mereka 6 tahun saat meletus perang yang melibatkan pasukan sekutu dan Jepang yang berhasil dikalahkan di pasifik, sampai ke era tewasnya pimpinan sekutu, Jenderal Malaby berlanjut ke peristiwa G-30S/PKI, ke peristiwa Malari di Jakarta tahun 1974 dan berakhir di kisah krisis moneter tahun 1998 (hal 171-172) walau hanya cuplikan sejarah dalam balutan kisah romantisme, tapi bagi yang agak buta sejarah hal ini membuktikan betapa berbobotnya kisah sederhana ini ini ternyata.

Pun keindahan keberagaman suku bangsa tergambar secara jelas tatkala di ruang Rumah Sakit Umum, saat membawa pak Tua yang terjatuh pingsan, semua teman sesama pengemudi sepit, maupun tetangga yang mengantar ketika dokter bertanya siapa yang paling bertanggung jawab untu masalah pak Tua, maka kontan semua sanak dan tetangga menyebut bahwa mereka semua adalah kerabatnya. Bahkan walaupun di sini  sang novelis terlebih dulu menyebutkan organisasi yang disebut sebagai PPSKT alias Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta. Ternyata para anggotanya bukan hanya para pengemudi sepit melainkan orang–orang yang berbeda keberagaman tadi.

Ada sedikit masalah yang agaknya juga jarang di sentuh para penulis novel lainnya, yakni masalah gender. Peranan perempuan dalam kisah ini sangat sedikit. Yang tercermin dan mungkin cukup mewakili peranan perempuan yang kedudukannya sejajar dengan kaum lelaki tergamabar dalam kisah Sarah yang berlomba sepit bersama para pengemudi lelaki lainnya, walau sempat tidak di setujui bang Togar dengan ungkapan merendahkan perempuan yang dibahasakan dengan sebutan malu melawan perempuan. Dan ternyata  Sarah yang satu-satunya peserta perempuan di balapan itu justru memenangkan kejuaraan (hal 480).

Dalam hal ini seolah penulis sengaja ingin menampilkan bahwa perempuan juga yang kebetulan hanya satu-satunya peserta memiliki kemampuan yang sama baiknya apalagi dalam hal ini perempuanlah yang menjadi the best. Penulis menegaskannya melalui ungkapan sindiran sang Timer merangkap pembawa acara, saat sang juara itu beraksi, ”Apa yang akan dibilang leluhur kita, bukan begitu, bang Togar. Ini pertama kali ada perempuan ikut serta lomba dan langsung mengalahkan pengemudi sepit laki-laki. Apa kata mereka?” (hal 446)

Ada sedikit masalah yang agaknya juga jarang di sentuh para penulis novel lainnya, yakni masalah gender. Peranan perempuan dalam kisah ini sangat sedikit. Yang tercermin dan mungkin cukup mewakili peranan perempuan yang kedudukannya sejajar dengan kaum lelaki tergamabar dalam kisah Sarah yang berlomba sepit bersama para pengemudi lelaki lainnya, walau sempat tidak di setujui bang Togar dengan ungkapan merendahkan perempuan yang dibahasakan dengan sebutan malu melawan perempuan. Dan ternyata  Sarah yang satu-satunya peserta perempuan di balapan itu justru memenangkan kejuaraan (hal 480).


Keunggulan Novel :
-   Banyak nilai-nilai kebijaksanaan yang terangkum dalam setiap pesan yang ingin penulis sampaikan yakni merangkaikan cinta dengan kesederhanaan, bukan hanya cinta antar sepasang kekasih, melainkan rangkaian cinta di antara semua tokoh-tokohnya dan juga cinta kepada tanah air khusunya kepada tempat dimana ia dibesarkan.


Kelemahan Novel :
-   Alur dalam novel ini mudah ditebak

Sumber :

Minggu, 13 Oktober 2013

Tugas Bahasa Indonesia 2


Penalaran Deduktif

Penalaran Deduktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku khusus berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat umum. Proses penalaran ini disebut Deduksi. Kesimpulan deduktif dibentuk dengan cara deduksi. Yakni dimulai dari hal-hal umum, menuju kepada hal-hal yang khusus atau hal-hal yang lebih rendah proses pembentukan kesimpulan deduktif tersebut dapat dimulai dari suatu dalil atau hukum menuju kepada hal-hal yang kongkrit.
Contoh :
Premis 1 : Setiap mamalia punya sebuah jantung
Premis 2 : Semua kuda adalah mamalia
Konklusi : Setiap kuda punya sebuah jantung

  • MENARIK SIMPULAN SECARA LANGSUNG

Penarikan secara langsung ditarik dari satu premis. Dengan cara :
konversi, obversi, dan kontraposisi
Contoh kalimat :
- Semua ikan bernafas melalui insang. ( premis )
- Semua yang bernafas melalui insang adalah ikan. ( simpulan )

-Semua pistol adalah senjata berbahaya. (premis)
-Tidak satu pun pistol adalah senjata tidak berbahaya. (simpulan)

-Tidak seekor pun gajah adalah jerapah. (premis)
-Semua gajah adalah bukan jerapah. (simpulan)

  • MENARIK SIMPULAN SECARA TIDAK LANGSUNG
Penarikan ini ditarik dari dua premis. Premis pertama adalah premis yang bersifat umum, sedangkan yang kedua adalah yang bersifat khusus.
Contoh :
- My : Semua siswa SDN Suka Jaya wajib mengikuti upacara
- Mn : Fajar Rizqy adalah siswa SDN Suka Jaya
- K :    Fajar Rizqy harus mengikuti upacara



SILOGISME

Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposisi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan).


JENIS-JENIS SILOGISME
Berdasarkan bentuknya, silogisme terdiri dari; 
 1. SILOGISME KATEGORIAL
Silogisme kategorial adalah silogisme yang semua proposisinya merupakan kategorial. Proposisi yang mendukung silogisme disebut dengan premis yang kemudian dapat dibedakan menjadi premis mayor (premis yang termnya menjadi predikat), dan premis minor ( premis yang termnya menjadi subjek). Yang menghubungkan di antara kedua premis tersebut adalah term penengah (middle term).
Contoh: a. Premis Mayor: Semua mahasiswa memiliki ijazah SLTA
                Premis Minor: Amira tidak memiliki ijazah SLTA
                Konklusi: Amira bukan mahasiswa 

b. My: Semua mahasiswa adalah lulusan SLTA
    Mn: Adi adalah mahasiswa 
               K: Adi  lulusan SLTA

 2. SILOGISME ALTERNATIF
Silogisme alternatif adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif. Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya. Kesimpulannya akan menolak alternatif yang lain.
Contoh: My: Rina berada di dalam  perpustakaan atau luar perpustakaan
            Mn: Rina berada diluar perpustakaan
            K: Jadi, Rina tidak berada di dalam perpustakaan

3. SILOGISME HIPOTESIS  
Silogisme yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi konditional hipotesis.
Konditional hipotesis yaitu, bila premis minornya membenarkan anteseden, simpulannya membenarkan konsekuen. Bila minornya menolak anteseden, simpulannya juga menolak konsekuen.
Contoh :
My : Jika tidak ada air, manusia akan kehausan.
Mn : Air tidak ada.
K : Jadi, Manusia akan kehausan.

My : Jika tidak ada udara, makhluk hidup akan mati.
Mn : Makhluk hidup itu mati.
K : Makhluk hidup itu tidak mendapat udara.

4. SILOGISME DISJUNGTIF
Silogisme disjungtif adalah silogisme yang premis mayornya merupakan keputusan disyungtif sedangkan premis minornya bersifat kategorik yang mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor. Seperti pada silogisme hipotetik istilah premis mayor dan premis minor adalah secara analog bukan yang semestinya. Silogisme ini ada dua macam yaitu:
·         Silogisme disyungtif dalam arti sempit

Silogisme disjungtif dalam arti sempit berarti mayornya mempunyai alternatif kontradiktif.
contoh: Heri jujur atau berbohong.(premis1)
           Ternyata Heri berbohong.(premis2)      
           Ia tidak jujur (konklusi).

·         Silogisme disyungtif dalam arti luas
Silogisme disyungtif dalam arti luas berarti premis mayornya mempunyai alternatif bukan kontradiktif. 
contoh:  Hasan dirumah atau dipasar (premis1)
            Ternyata tidak dirumah (premis2)
            Hasan dipasar (konklusi)

ENTIMEN


Silogisme ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun lisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan kesimpulan.
contoh entimen:
PU: Semua orang ingin sukses harus belajar dan berdoa
PK: Lita ingin sukses
K: Lita harus belajar dan berdoa

SALAH NALAR 
Salah nalar dapat terjadi di dalam proses berpikir utk mengambil keputusan. Hal ini terjadi karena ada kesalahan pada cara penarikan kesimpulan. Salah nalar lebih dari kesalahan karena gagasan, struktur kalimat, dan karena dorongan emosi.
*Macam-macam Salah Nalar
1. Salah Nalar Induktif
- kesalahan karena generalisasi yang terlalu luas
- kesalahan penilaian hubungan sebab-akibat
- kesalahan analogi

2. Kesalahan Deduktif dapat disebabkan karena:

- kesalahan karena premis mayor tidak dibatasi
- kesalahan karena adanya term keempat
- kesalahan karena kesimpulan terlalu luas/tidak dibatasi
- kesalahan karena adanya 2 premis negatif.


*
Jenis-jenis Salah Nalar
a. Deduksi yang salah
Salah nalar yang amat lazim ialah simpulan yang salah dalam silogisme yang berpremis salah atau yang berpremis yang tidak memenuhi syarat.
Misalnya: Pengiriman manusia ke bulan hanya penghamburan. ( Premisnya: Semua eksperimen ke angkasa luar hanya penghamburan).

b.Generalisasi yang terlalu luas

Salah nalar ini disebut juga induksi yang salah karena jumlah percontohnya yang terbatas tidak mamadai. Harus dicatat bahwa kadang-kadang percontoh yang terbatas mengizinkan generalisasi yang sahih.
Misalnya : Orang Indonesia malas tetapi ramah. (Orang Indonesia ada yang malas dan ada juga yang tidak ramah).

c
.Pemikiran ‘atau ini, atau itu’
Salah nalar ini berpangkal pada keinginan pada keinginan untuk masalah yang rumit dari dua sudut pandang (yang bertentangan) saja. Isi pernyataan itu jika tidak baik, tentu buruk; jika tidak betul, tentu salah: jika tidak putih, tentu hitam.
Misalnya : Petani harus bersekolah supaya terampil.(Apakah untuk menjadi terampil kita selalu harus bersekolah?).

d. Salah nilai atas penyebaban

Generalisasi induktif sering disusun berdasarkan pengamatan sebab dan akibat, tetapi kita kadang-kadang tidak menilai dengan tepat sebab suatu peristiwa atau hasil kejadian. Khususnya dalam hal yang menyangkut manusia, penentuan sebab dan akibat sulit sifatnya. Salah nilai atas penyebab yang lazim terjadi ialah salah nalar yang disebutpost hoc, ergo propter hoc ‘sesudah itu, maka karena itu’.
Misalnya : Swie King jadi juara karena doa kita. (Lawan Swie King tentu juga didoakan para pendukungnya).

e. Analogi yang salah

Analogi adalah usaha perbandingan dan merupakan upaya yang berguna untuk mengembangkan penalaran. Namun, analogi tidak membuktikan apa-apa dan analogi yang salah dapat menyesatkan karena logikanya salah.
Misalnya : Rektor harus memimpin universitas seperti jenderal memimpin divisi. (Universitas itu bukan tentara dengan disiplin tentara).

f. Penyimpangan masalah

Salah nalar di sini terjadi jika argumentasi tidak mengenai pokok, atau jika kita menukar pokok masalah dengan pokok yang lain, ataupun jika kita menyeleweng dari garis.
Misalnya : Program Keluarga Berencana tidak perlu karena tanah di Kalimantan masih kosong (Manusia tidak bisa hidup dengan hanya memiliki tanah).

g. Pembenaran masalah lewat pokok sampingan

Salah nalar di sini muncul jika argumentasi menggunakan pokok yang tidak langsung berkaitan, atau yang remeh, untuk membenarkan pendiriannya.
Misalnya, orang merasa kesalahannya dapat dibenarkan karena lawannya juga berbuat salah. Misalnya : Saya boleh berkorupsi karena orang lain berkorupsi juga. (Korupsi dihalalkan karena banyaknya korupsi dimana-mana).

h. Argumentasi ad hominem

Salah nalar terjadi jika kita dalam argumentasi melawan orangnya dan bukan persoalannya. Khususnya di bidang politik, argumentasi jenis ini banyak dipakai.
Misalnya: Ia tidak mungkin pemimpin yang baik karena kekayaannya berlimpah. (Yang dipersoalkan bukan kepemimpinannya).

i. Imbauan pada keahlian yang disangsikan

Dalam pembahasan masalah, orang sering mengandalkan wibawa kalangan ahli untuk memperkuat argumentasinya. Mengutip pendapat seorang ahli sangat berguna walaupun kutipan itu tidak dapat membuktikan secara mutlak kebenaran pokok masalah.
Misalnya : kita mengutip pendapat bintang film tentang pengembangan demokrasi.

j.
Non Sequitur Dalam argumentasi
Salah nalar ini mengambil simpulan berdasarkan premis yang tidak, atau hampir tidak, ada sangkut pautnya.
Misalnya : Partai Rakyat Madani paling banyak cendekiawannya; karena itu usul-usulnya paling bermutu. (Tidak ada korelasi antara kecendhttp://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/03/penalaran-deduktif-dan-induktif-2/ekiaan dan kepandaian merumuskan usul).


DEDUKSI YANG SALAH
Deduksi salah nalar yang amat lazim ialah simpulan yang salah dalam silogisme yang berpremis salah atau yang berpremis yang tidak memenuhi syarat.
Contoh: Penanaman cabai di musim hujan hanya membuat rugi. ( Premisnya: Semua petani yang menanam cabai dimusim ( hujan hanya membuat rugi )

Sumber: 

 http://elishhaumahu.blogspot.com/2012/03/penalaran-deduktif-dan-induktif.html
http://d13llo.blogspot.com/2011/02/penalaran-deduktif.html 
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/03/penalaran-deduktif-dan-induktif-2/ 
http://putrihesa.blogspot.com/2013/04/salah-nalar_16.html